BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia
adalah Sebuah ciptaan yang paling sempurna dibanding ciptaan yang lain, manusia
yang dibekali dengan akal dan hati sebagai pembeda antara yang haq dan yang
batil. sungguh sangat unik ketika kita mengkaji manusia karena penuh misteri
khususnya dalam hal pencapaian diri atau pencapaian sebagai insane kamil,
meskipun hal itu sulit untuk diraih tapi kita pun tidak semudah untuk menyerah,
dengan dibekali kelebihan yang ada pada diri manusia maka tidak menutup kemungkinan
untuk bisa mencapainya. mengutip pernyataan Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah
pengantar (Murtadha Muthahhari, 1994) mengatakan bahwa manusia merupakan
miniatur dari alam raya. Jika pada alam raya terdapat tiga tingkat alam yaitu :
rohani, khayali, dan jasmani, maka pada manusia ketiga alam tersebut juga
terwujud yaitu dalam bentuk ruh, nafs(diri), dan jism (tubuh).
Perlu kita
ketahui Insan(manusia) adalah makhluk Allah yang diciptakan dengan
sebaik-baiknya penciptaan. meskipun dalam prakteknya manusia tidak bisa
sempurna tapi kitapun tetap berusah untuk menjadi pribadi-pribadi yang selalu
berusaha dan berbuat yang terbaik bagi yang lainya.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Jelaskan apa yang dimaksud Insan Kamil ?
2.
Bagaimanakah konsep Insan Kamil dalam
Islam ?
3.
Bagaimana konsep Insan Kamil menurut
Al-Qur’an dan Hadist?
4.
Sebutkan ciri-ciri Insan Kamil?
5.
Bagaimana criteria dan cara pencapaian agar
bisa menjadi Insan Kamil ?
6.
Bagaimana pendapat para ulama mengenai
Insan Kamil?
7.
Bagaimana penerapan Insan Kamil dalam
kehidupan sehari-hari?
1.3 Tujuan
- Untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Akhlak
Tasawuf .
2. Sebagai bahan kajian para mahasiswa mengenai Akhlah Tasawuf
khususnya tentang Insan Kamil.
3. Mengetahui
tentang konsep insan kamil dalam Islam
- Mengetahui
konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an dan Hadist?
- Mengetahui
ciri-ciri Insan Kamil?
- Mengetahui
criteria dan cara pencapaian agar bisa menjadi Insan Kamil ?
- Mengetahui
pendapat para ulama mengenai Insan Kamil?
- Mengetahui
penerapan Insan Kamil dalam kehidupan sehari-hari?
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa Arab,
yaitu dari dua kata: Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia,
dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia
yang sempurna.
Insan Kamil berasal dari bahasa Arab
yang secara harpiah mempunyai pengertian manusia yang sempurna.[1]
Istilah ini muncul pada mulanya di kalangan orang-orang tasawuf dan kemudian
beredar secara luas pada segenap lapisan masyarakat Islam. la dipahami pada
umumnya sebagai sebutan untuk manusia tertentu, yakni untuk mereka yang
memiliki keutamaan jiwa yang sempurna. Para nabi atau rasul disepakati memiliki
keutamaan jiwa paling sempurna, dan karena itu dipandang paling layak disebut
Insan Kamil. Oleh kaum Syi’ah Imamiyah, para imam mereka dimasukkan ke dalam
kategori Insan Kamil; demikian juga oleh orang-orang tasawuf, para wali atau
Sufi dimasukkan ke dalam kategori tersebut.[2]
Hanya para nabi atau rasul saja yang
memiliki keutamaan jiwa yang paling sempurna, tanpa melalui latihan atau
pembinaan yang keras. Mereka lahir dengan potensi istimewa, sehingga mereka
secara alamiah saja dapat tumbuh menjadi Insan Kamil. Jiwa mereka penuh dengan
sifatsifat terpuji atau akhlak ketuhanan, dan bersih dari sifat-sifat tercela.[3]
Manusia bukan nabi atau rasul tidak demikian; mereka, menurut orang-orang
tasawuf, haruslah berjuang keras mengikuti latihan-latihan dalam rangka
mengosongkan jiwa mereka dari sifat-sifat tercela dan berhias dengan sifat atau
akhlak terpuji. Mereka yang berjuang keras untuk mencapai derajat atau maqam
makrifat (mengenal Tuhan secara langsung melalui mata hati nurani) pada
hakikatnya berjuang untuk mencapai derajat Insan Kamil, kendati mereka tetap
berada di bawah derajat para nabi atau rasul Tuhan.[4]
Sebutan Insan Kamil agaknya dimunculkan
pertama kali oleh Ibnu Arabi (w.1240/638 H), pendiri paham wahdat alwujud (kesatuan
wujud). la mengikuti paham al-Hallaj, yang menyatakan bahwa makhluk pertama
yang diciptakan Tuhan adalah Nur Muhammad atau Ruh Muhammad[5];
Nur atau Ruh Muhammad inilah yang selanjutnya disebut juga oleh Ibnu Arabi dengan
sejumlah nama, seperti Hakikat Muhammadiyah. Akal Pertama. Hakikat Insaniyah
dan Insan Kamil. Dengan demikian Ibnu Arabi telah mengacukan sebutan Insan
Kamil bukan saja kepada manusia tertentu dari turunan Adam, tapi juga kepada
Nur Muhammad yang kadim dan bersifat imateri, ciptaan pertama dari Tuhan. Insan
Kamil dengan pengertian yang mengacu kepada ciptaan pertama itu, diuraikan
lebih luas oleh Abdul Karim al-Jilil dalam bukunya, al-Insan al-kamil fi
Ma`rifat al-Awakhir wa al-Awail, dan para pengikut paham kesatuan wujud
Iainnya[6]
Insan Kamil yang mengacu kepada makhluk
pertama, merupakan hakikat yang menghimpun segala Hakikat dari keanekaragaman
yang terdapat dalam alam empiris. la juga merupakan wadah tajalli, pancaran,
atau manifestasi segenap nama dan sifat yang memancar dari Wujud Mutlak
(Tuhan). Sebagai makhluk pertama, Insan Kamil merupakan Akal Pertama atau Wujud
Ilmi, yang memancar dari Wujud Mutlak. la merupakan sumber segala ilmu[7].
la sumber ilmu bagi para nabi atau rasul, para Sufi, atau para wali. Penyebutan
para nabi atau rasul, para sufi, atau para wali dengan sebutan Insan Kamil,
tidak lain adalah karena merekalah orang-orang yang merasakan sungguh-sungguh
kehadiran Insan Kamil (makhluk pertama itu) dalam jiwa mereka, dan menerima
limpahan ilmu darinya. Mereka tidak mungkin menerima kehadiran atau pancaran
Insan Kamil itu, bila hati atau jiwa mereka tidak suci[8].
Manusia-manusia turunan Adam, yang
termasuk kategori Insan Kamil, merupakan wadah yang paling sempurna dalam dunia
empires, untuk menerima tajalli (penampakan secara tidak langsung
segenap sifat dan nama Tuhan). Dengan kata lain merekalah yang mampu dengan
sempurna mencerminkan atau membayangkan keberadaan Tuhan dengue segala nama dan
sifat-Nya. Manusia lain yang bukan Insan Kamil, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan
benda-benda empiris lainnya, kendati juga berfungsi sebagai wadah tajalli
Tuhan, tidaklah dapat dengan sempurna mencerminkan atau membayangkan keberadaan
Tuhan dengan segala nama dan sifat-Nya.
Insan Kamil artinya
adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan
al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali muncul dari
gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili
(1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan
mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Al-Jili merumuskan
insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah
contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian
tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan,
tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros
kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian
dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri
Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan
karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa
al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang
Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan
insan kamil dengan dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep
pengetahuan mengeneai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan
kamil terkail dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu
Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang
baik dan sempurna.
Sifat sempurna inilah
yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat
sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya. Kedua,
insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta
sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini,
nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik
manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan
yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang
sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia
menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi al-Jili, manusia
dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan mendakian
mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai
tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan
sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta
mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Pada tingkat ketiga, ia
melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana hakikat mutlak,
dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau insan kamil. Matanya menjadi mata
Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan
(nur Muhammad). Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori para sufi seperti
pemikiran al-Jili ini. Menurut dia, hal ini membunuh individualitas dan
melemahkan jiwa. Iqbal memang memandang dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai
insan kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik.
Insan kamil versi Iqbal
tidak lain adalah sang mukmin, yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan,
perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang
tertinggi tergambar dalam akhlak Nabi SAW. Insan kamil bagi Iqbal adalah sang
mukmin yang merupakan makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan
agamawi. Untuk menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa
meresapi dan menghayati akhlak Ilahi. Sang mukmin menjadi tuan terhjadap
nasibnya sendiri dan secara tahap demi tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal
melihat, insan kamil dicapai melalui beberapa proses. Pertama, ketaatan pada
hukum; kedua penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang
pribadi; dan ketiga kekhalifahan Ilahi.
Selanjutnya Jamil Shaliba mengatakan
bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk
arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insan
mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan
lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata
yang menunjuk¬kan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung
mengarah pada hakikat manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada
arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik yang ada pada
manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya.
Adapun kata kamil dapat pula berarti
suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya
zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan
kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.
Selanjutnya kata insan dijumpai di dalam
al-Qur’an dan dibedakan dengan istilah basyar dan al-nas. Kata insan jamak-nya
kata al-nas. Kata insan mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata
anasa yang mempunyai arti melihat, mengeta-hui dan minta izin. Yang kedua
berasal dari kata nasiya yang artinya lupa. Yang ketiga berasal dari kata
al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata buas. Dengan bertumpu pada asal kata
anasa, maka insan mengandung arti melihat, mengetahui dan meminta izin, dan
semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang penalaran,
sehingga dapat menerima pengajaran.
2.2
Konsep Insan Kamil dalam
Islam
Pada
dasarnya semua manusia di dunia ini menghendaki dirinya menjadi insan kamil
(manusia sempurna) sebagaimana dicerminkan setiap Nabi/Rasul yang berperan
sebagai pembawa risalah sekaligus figur atau uswatun hasanah yang mencerminkan
salah satu sikap insan kamil. Islam dengan rasulnya sebagai teladan dalam
pembentukan akhlak yang mulia telah memberikan konsep yang jelas tentang insan
kamil (manusia sempurna) dalam tolak ukur kesempurnaan makhluk.
DR Abbas
Mahmud al-Akad, salah seorang mantan Syekh al-Azhar mengemukakan bahwa sosok
insan kamil dalam Islam ada pada kedudukan manusia sebagai Khalifah fi al-Ard
(pemimpin di muka bumi).
Sebagaimana
firman Allah SWT dalam QS al-Baqarah ayat 30:
øÎ)ur
tA$s%
/u
Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9
ÎoTÎ)
×@Ïã%y`
Îû
ÇÚöF{$#
ZpxÿÎ=yz
(
(#þqä9$s%
ã@yèøgrBr&
$pkÏù
`tB
ßÅ¡øÿã
$pkÏù
à7Ïÿó¡our
uä!$tBÏe$!$#
ß`øtwUur
ßxÎm7|¡çR
x8ÏôJpt¿2
â¨Ïds)çRur
y7s9
(
tA$s%
þÎoTÎ)
ãNn=ôãr&
$tB
w
tbqßJn=÷ès?
ÇÌÉÈ
Artinya
: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
Dalam ayat
tersebut, Allah SWT memberikan mandat kepada manusia sebagai khalifah di muka
bumi. Sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr Hamka, Abbas Mahmud al-Akad menguraikan
bahwa untuk menjadi Khalifah fi al-Ard yang merupakan sosok insan kamil manusia
harus mampu mempertanggungjawabkan empat hal di hadapan Allah SWT kelak.
Pertama,
manusia harus dapat mempertanggungjawabkan janji-janjinya, baik janjinya kepada
Allah SWT maupun kepada sesama manusia.
Kedua,
mempertanggungjawabkan ide dan gagasannya. Manusia yang dilahirkan dalam
keadaan tidak mengetahui apa-apa kemudian dikarunia pendengaran, penglihatan,
dan akal agar bersyukur atas segala anugerah yang dia nikmati Seperti tercermin
dalam Surat An-Nahl, ayat 78: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.”
Dengan
nikmat-nikmat itu manusia mempunyai kemampuan menciptakan gagasan-gagasan yang
kelak harus dipertanggungjawabkannya, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat
An-Nahl, ayat: 56:
tbqè=yèøgsur
$yJÏ9
w
tbqßJn=ôèt
$Y7ÅÁtR
$£JÏiB
óOßg»oYø%yu
3
«!$$s?
£`è=t«ó¡çFs9
$£Jtã
óOçFZä.
tbrçtIøÿs?
ÇÎÏÈ
Artinya
: “Demi Allah, sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang telah kamu
lakukan.”
Pada
dasarnya, Islam sangat mendorong agar manusia berkreasi namun kesemuanya harus
dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut ini:
“Barang siapa berinisiatif yang baik menurut kaidah Islam
maka ia akan mendapatkan dua pahala, pahala atas idenya yang baik itu dan
pahala sebesar pahala orang yang mengikutinya. Dan barang siapa yang mempunyai
gagasan yang buruk menurut kaidah Islam, maka ia akan memperoleh dua dosa, dosa
atas gagasannya yang buruk itu dan dosa sebesar dosa orang yang mengikutinya.”
Kita harus
menyadari bahwa jika kita menjadi public figure, maka ketika perilaku kita
berupa hal yang baik menurut Islam kemudian ditiru orang yang melihatnya, maka
Insya Allah akan mendapat pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya tanpa
dikurangi sedikit pun. Tapi sebaliknya, bila kita menelurkan kreasi yang buruk
dan kemudian ditiru orang lain, maka kita akan mendapat dosa ganda betapa pun
kita sudah meninggal dunia.
Bahkan,
jika kita memegang hak pembuat kebijakan, ketika undang-undang atau peraturan
yang kita buat itu merupakan maksiat kepada Allah, maka kita akan mendapatkan
dosa sebanyak pengamal undang-undang itu betapa pun kita sudah meninggal,
sepanjang masih ada orang yang memakai undang undang atau peraturan itu.
Ketiga,
mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam
Surat An-Nahl ayat 93:
öqs9ur
uä!$x©
ª!$#
öNà6n=yèyfs9
Zp¨Bé&
ZoyÏnºur
`Å3»s9ur
@ÅÒã
`tB
âä!$t±o
Ïôgtur
`tB
âä!$t±o
4
£`è=t«ó¡çFs9ur
$£Jtã
óOçFZä.
tbqè=yJ÷ès?
ÇÒÌÈ
Artinya
: “Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”
Bagi orang
yang beriman kepada Hari Akhir, harus meyakini bahwa segala apa yang kita
perbuat di dunia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Rasulullah
SAW bersabda dalam salah satu hadis yang berbunyi:
“Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba di Hari
Makhsyar sampai ia mampu menjawab pertanyaan tentang: Umurnya
dihabiskan untuk apa? Dengan ilmunya ia berbuat apa? Dari mana hartanya
diperoleh dan digunakan untuk apa? Untuk apa ia perbuat dengan badan atau
raganya?”
Selanjutnya,
jika kita perhatikan tentang pertanyaan-pertanyaan yang akan kita hadapi di
akhirat kelak, maka ketika ditanya tentang harta mula-mula kita ditanya dari
mana harta itu diperoleh, lalu kemudian untuk apa digunakan harta itu.
Berbeda
dengan ilmu yang tidak ditanya dari mana ilmu itu didapat. Karenanya tidak
dipermasalahkan kepada siapa kita belajar meski dengan orang kafir sekali pun.
Akan tetapi yang ditanyakan adalah apa yang kita perbuat dengan ilmu itu, untuk
maksiatkah atau untuk melakukan hal-hal yang Allah ridhai.
Keempat,
mempertanggungjawabkan nikmat-nikmat yang telah diterima. Apakah nikmat yang
diperoleh dengan tanpa dicari, atau pun nikmat yang diperoleh dengan cara
dicari, misalnya jabatan, harta dan lain lain. Sebagaimana terdapat firman
Allah SWT dalam Surat At-Takaatsur ayat 8: “Kemudian
kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu
megah-megahkan di dunia itu).”
Atas
penjelasan di atas, jika kita ingin dapat mempertanggungjawabkan nikmat-nikmat
yang Allah berikan, maka yang harus diperhatikan adalah jika nikmat itu harus
dicari, maka carilah dengan cara yang benar atau diridhai Allah.
Kemudian
mensyukuri nikmat tersebut, yaitu mengelolanya dengan baik untuk dipergunakan
pada hal-hal yang diridhai Allah, misalnya dalam rangka mengembangkan potensi
diri haruslah disalurkan pada hal-hal yang Allah ridhai. Misalnya, jika kita
ingin mengembangkan potensi jiwa seni kita, hendaklah diingat bahwa seni itu
harus tidak menyimpang dari tujuan hidup manusia yaitu semata-mata untuk
mengabdi pada Allah, sehingga tidak ada bentuk seni yang maksiat
(asusila/pornografi) hanya karena beranggapan itu hak asasi manusia dan seni
untuk seni tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Demikian pula jangan kita
berprinsip bisnis dan politik tidak ada sangkut pautnya dengan agama.
Alquran
ataupun hadis tidak pernah secara eksplisit menjelaskan tentang ''insan
kamil''. Kita hanya memperoleh informasi bahwa manusia adalah makhluk yang
diciptakan Allah dengan bentuk yang paling baik, seperti dalam surat At-Tin.
Dalam surat tersebut dijelaskan manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang paling
baik. Tetapi bentuk yang paling baik tersebut bisa berbalik menjadi bentuk yang
paling hina/rendah, apabila manusia tidak mampu menjaga dan mempertahankannya.
Adapun cara menjaga dan mempertahankan bentuk yang
paling baik tersebut adalah beriman dan beramal saleh. (QS.At-Tin/95:1-8). Amal
saleh tersebut mencakup dua dimensi, yakni dimensi ketuhanan (vertikal) dalam
rangka menjalin kerja sama yang baik dengan Allah (habl min Allah) dan
dimensi kemanusiaan (horizontal) dalam rangka menjalin kerja sama yang baik
dengan sesama (Habl min al-Nas) dan tentunya dengan alam sekitar. (QS.
Ali 'Imran/3:112).
Di dalam hadis juga kita dapatkan informasi secara
implisit bisa kita maknai sebagai kiat untuk mencapai taraf ''insan kamil''.
Hadis riwayat Bukhari atau Muslim tentang percakapan Nabi Muhanmmad SAW dengan
Jibril mengenai Iman, Islam dan Ihsan, merupakan pelajaran berharga bagi
manusia yang hendak mencapai kesempurnaan hidup. Iman, Islam dan Ihsan adalah
tiga pilar utama (ajaran) serta faktor penentu bagi kesempurnaan hidup manusia.
Iman adalah percaya kepada enam rukun iman dan Islam
adalah kepasrahan diri kepada Allah sebagai manifestasi iman yang diwujudkan
dalam bentuk lima amal perbuatan saleh (baik). Sementara Ihsan adalah
kelengkapan dari kedua unsur tersebut, yakni Iman dan Islam seseorang belum
sempurna kalau belum mampu menghadirkan Ihsan dalam dirinya. Yakni beribadah
(berkehendak, bersikap dan berbuat) seolah-olah melihat Allah atau dengan
keyakinan bahwa Allah senantiasa mengawasi segala amal perbuatan kita.
Dengan demikian maka ''insan kamil'' adalah manusia
yang dalam hidupnya senantiasa beramal saleh (berbuat baik) didasari dengan
Iman kepada Allah yang mewujud dalam sikap taqwa. Sebagaimana disebutkan dalam
Alquran surat Al-Hujurat/49:13, ''Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah
ialah orang yang paling tinggi kualitas taqwanya''.
2.3 Konsep Insan Kamil Menurut
Al-Qur’an dan Hadist
Nabi Muhammad Saw disebut sebagai
teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:
ôs)©9
tb%x.
öNä3s9
Îû
ÉAqßu
«!$#
îouqóé&
×puZ|¡ym
`yJÏj9
tb%x.
(#qã_öt
©!$#
tPöquø9$#ur
tÅzFy$#
tx.sur
©!$#
#ZÏVx.
ÇËÊÈ
Artinya : “Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah”.
Perwujudan insan kamil dibahas
secara khusus di dalam kitab-kitab tasawuf, namun konsep insan kamil ini juga
dapat diartikulasikan dalam kehidupan kontemporer. Allah SWT tidak membiarkan
kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandard
seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah SAW yang menjadi uswah
hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak
ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia
adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia.
Allah SWT berfirman:
y7¯RÎ)ur
4n?yès9
@,è=äz
5OÏàtã
ÇÍÈ
Artinya : “Dan sesungguhnya engkau
(Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam:4)
ôs)©9
tb%x.
öNä3s9
Îû
ÉAqßu
«!$#
îouqóé&
×puZ|¡ym
`yJÏj9
tb%x.
(#qã_öt
©!$#
tPöquø9$#ur
tÅzFy$#
tx.sur
©!$#
#ZÏVx.
ÇËÊÈ
Artinya : “Sesungguhnya
telah ada dalam diri Rasulullaah suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu
orang-orangmengharapkan (keridhoan) Allah dan (kebahagiaan) hari akhirat,
serta banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab:21)
@÷dr'¯»t
É=»tGÅ6ø9$#
ôs%
öNà2uä!$y_
$oYä9qßu
ÚúÎiüt7ã
öNä3s9
#ZÏW2
$£JÏiB
öNçFYà2
cqàÿøéB
z`ÏB
É=»tGÅ6ø9$#
(#qàÿ÷ètur
Ætã
9ÏV2
4
ôs%
Nà2uä!%y`
ÆÏiB
«!$#
ÖqçR
Ò=»tGÅ2ur
ÑúüÎ7B
ÇÊÎÈ Ïôgt
ÏmÎ/
ª!$#
ÇÆtB
yìt7©?$#
¼çmtRºuqôÊÍ
@ç7ß
ÉO»n=¡¡9$#
Nßgã_Ì÷ãur
z`ÏiB
ÏM»yJè=à9$#
n<Î)
ÍqY9$#
¾ÏmÏRøÎ*Î/
óOÎgÏôgtur
4n<Î)
:ÞºuÅÀ
5OÉ)tGó¡B
ÇÊÏÈ
Artinya : “Sesungguhnya telah datang
kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah
menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan
(dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita
kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke
jalan yang lurus.” (Al Maidah 15-16)
Firman Allah itu menjelaskan tentang
nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad sebagai seorang Rasulullah
Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi
penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia
dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat.
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami
mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan,
dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi
cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang
mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.” (Al
Ahzab: 45-47).
Muhammad yang dijuluki Allah sebagai
cahaya adalah nama yang menjadi figur sentral ajaran Islam. Dalam berjanji,Muhamamad
bahkan diibaratkan bagai cahaya purnama. Cahaya yang tidak menyilaukan, cahaya
yang menyejukkan dan cahaya yang romantis. Jika manusia adalah sebaik-baik
penciptaan maka Muhammad adalah sebaik-baik manusia. Tak ada manusia yang mampu
menandingi penciptaan wujud Muhammad secara lahiriah, juga sifat, dan
perbuatannya.
Muhammad bin Abdullah, kini sudah
tidak ada lagi. Sebagai manusia, Muhammad wafat lebih dari empat belas abad
yang lalu. Namun memahami Muhammad, tidak cukup hanya pada sebatas wujud secara
fisik. Muhammad adalah ciptaan terbaik yang akan terus membuat dahaga siapa
saja yang mencoba memahaminya. Tak keliru jika ada tamsil bahwa memahami
Muhammad dari nama, sifat, perbuatan maupun wujud dirinya bagai meneguk air di
lautan. Makin diteguk, semakin haus.
Bagaimana kehidupan sebagai
pribadinya adalah rujukan kita. Cara makan dan minumnya adalah standar akhlaq
kita. Tidur dan berjalannya adalah juga standard kita. Tangisnya, senyumnya,
berfikir dan merenungnya, bicaranya dan diamnya adalah juga merupakan tangis,
senyum, berfikir dan merenungnya, bicara dan diamnya kita.
Kehidupannya sebagai kepala rumah
tangga, anggota masyarakat, kepala negara, da’i, jenderal perang adalah rujukan
kehidupan kita. Demikianlah, Rasulullah SAW memang telah menjadi ukuran resmi
yang Allah SWT turunkan bagi kita, dan sampai kapanpun ini tidak akan pernah berubah.
Orang-orang ahli tauhid dan hakikat
bahkan memaknai Muhammad, jauh hingga ke dasar penciptaan hakikinya. Syekh
Muhammad Nafis al Banjari dalam Addurun Nafis, misalnya, mengaitkan nur
Muhammad dengan martabat tujuh (tanazul zat). Tujuh martabat dalam tanazul
zat meliputi ahdiyah, wahdah, wahdiyah, alam arwah, alam mitsal,
alam ajsam dan alam insan. Ulama besar dari Banjarmasin itu menempatkan
nur Muhammad pada martabat wahdah yaitu martabat kedua dari tujuh
martabat yang diistilahkan tanazul zat.
1. Martabat Ahdiyah
Segala
sifat dan asma lahir pada martabat ahdiyah. Namun sifat dan asma menjadi
binasa di dalam zat wajibul wujud. Martabat ahdiyah juga disebut
martabat kunhi zatullah. Ia merupakan puncak segala martabat. Tak ada
martabat di atasnya setelah martabat ahdiyah.
2. Martabat Wahdah
Pada
martabat wahdah, lahir segala sifat dan asma secara ijmal atau
terhimpun utuh. Martabat ini disebut sebagai hakikat Muhammad dan menjadi asal
dari segala yang hidup dan maujud.
Muhammad
dipahami sebagai hawiyatul ‘alam atau hakikat alam dan segala sesuatu
sebagaimana hadis yang bersumber dari Jabir ra.
“Awal
mula yang dijadikan Allah Ta’ala itu adalah cahaya Nabimu hai Jabir. Kemudian
dijadikan dari padanya segala sesuatu. Sedangkan dirimu merupakan salah satu
dari sesuatu itu.”
Hadis
lain menerangkan, “Aku dari Allah dan
segala mukmin itu dariku.” Ada pula hadis yang menjelaskan, “Bahwasanya
Allah Ta’ala telah menjadikan Ruh Nabi Muhammad SAW dari Zat-Nya dan menjadikan
sekalian alam dari nur Muhammad.”
Sebuah
riwayat Abdur Razaq ra. yang berasal dari Sayyidina Jabir ra. menyatakan, “Jabir datang kepada Rasulullah SAW dengan
pertanyaan: ‘Ya Rasulullah, khabari aku tentang awal mula suatu yang dijadikan
Allah Ta’ala.’ Maka kata nabi, ‘Hai Jabir, bahwasanya Allah Ta’ala telah
menjadikan terlebih dahulu dari sesuatu itu Nur Nabimu yang telah tercipta dari
Zat-Nya.’”
Pemahaman
tentang Nur Muhammad berasal dari Zat-Nya dapat diilustrasikan pada pengertian
antara cahaya matahari dan wujud matahari. Dalam sudut pandang rupa, cahaya
bukanlah matahari dan matahari juga bukan cahaya. Keduanya mempunyai wujud dan
sifat masing-masing. Tapi dilihat dari makna yang hakiki, cahaya merupakan diri
matahari, karena tak akan ada cahaya tanpa matahari dan sebaliknya tak akan
disebut matahari tanpa mengeluarkan cahaya. Jadi pada hakikatnya cahaya adalah
diri matahari itu sendiri, dan tidak lain. Memahami
nur sebagai diri Muhammad jangan seperti memahami cahaya secara harfiah,
melainkan harus kepada esensi sebagaimana Allah juga menamakan diri-Nya sebagai
sumber cahaya langit dan bumi, “Allah Pemberi cahaya kepada langit dan
bumi.” (An Nur: 35).
3. Martabat Wahdiyah
Martabat
wahdiyah merupakan tempat lahir segala sifat dan asma dengan tafsil
bahwa sesuatu yang ada pada martabat wahdah terurai sifat dan asma yang
masih mujmal pada martabat wahdah. Pada martabat ini terjadi
prosesi khitab dari kalam qadim kepada alam sifat dan asma. “Sesungguhnya
Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku
dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaahaa: 14)
4. Martabat Alam Arwah
Martabat
alam arwah adalah hakikat semua ruh yang lahir dan menjadi kenyataan semua yang
ada pada martabat ahdiyah, wahdah dan wahdiyah. Martabat ini
disebut juga dengan nama Hakikat Muhammad atau Muhammad Hakiki.
5. Martabat Alam Mitsal
Ini
adalah alam yang secara realitas bersifat abstrak dan sangat halus sehingga
tidak dapat dibagi secara material. Asal muasal segala sesuatu yang halus tanpa
menerima bahagian jasadi diciptakan pada martabat alam mitsal.
Dalam Al Quran alam mitsal disebut dengan alam gaib, sebuah alam yang
kondisinya tidak dapat dilihat secara kasat mata seperti surga, neraka dan
termasuk alam jin.
6. Martabat Alam Ajsam
adalah
martabat tempat dari segala sesuatu dijadikan berupa fisik dalam wujud jasmani
yang kasar dan menerima bahagian. Martabat ini juga disebut alam syahadat, atau
alam penyaksian. Kondisinya tersusun dari beberapa unsur material seperti api,
angin, tanah, air dan lainnya dan menjadikan segala sesuatu yang ada pada alam
ini, dalam proses harus melalui ekosistem. Martabat ini juga disebut martabat
alam ajsad sehingga segala sesuatu apapun dapat disaksikan dengan mata
lahiriah karena telah menjadi fisik materi.
7. Martabat Alam Insan
Martabat
alam insan atau insan kamil adalah martabat yang menghimpunkan segala martabat ahdiyah,
wahdah, wahdiyah, alam arwah, alam mitsal dan alam ajsam.
Orang yang berhasil mencapai proses tahapan spiritual dengan melewati enam
martabat tersebut disebut insan kamil (manusia yang sempurna). Martabat ahdiyah,
wahdah dan wahdiyah adalah tiga martabat alam qadim. Tiga
martabat lainnya merupakan martabat huduts.
Martabat
alam insan menjadi gelar dan disandang oleh orang-orang yang telah
mencapai puncak perjalanan rohani, sebagaimana yang dicapai oleh Nabi Muhammad
SAW dengan semua gelar dari Allah termasuk gelar khuluqin ‘azhim (akhlak
yang agung).
Rasulullah
SAW bersabda sehubungan dengan akhlaq, hati dan lisan: “Iman seorang hamba
tidaklah lurus sehingga lurus hatinya. Dan tidak akan lurus hati seorang hamba
sehingga lurus lisannya.” (H.R. Ahmad).
Sehubungan dengan hubungan sosial,
beliau bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka
muliakanlah tetangganya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir
maka muliakanlah tamunya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir
maka berkatalah yang baik atau diam.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dan masih banyak lagi ibrah lainnya
dari kehidupan Rasulullah SAW, yang tidak akan mungkin cukup kertas ini untuk
mengungkapkannya, yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan akhlaq beliau, baik
akhlaq terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap makhluk lainnya
dan tentunya akhlaq terhadap Khaliqnya sebagai insan kamil.
Jadi akhlaq Islam itu sudah ada
formatnya dan juga mapan, berlainan dengan akhlaq, moral, etika dalam sistem
budaya buatan manusia diluar Islam yang tidak pernah memiliki standar baku dan
senantiasa berubah bergantung pada main stream budaya yang ada pada waktu itu.
Ukuran kebaikan dan kesopanan begitu
relatif dan variatif, bergantung kepada tempat dan waktu. Dahulu dua orang yang
(ma’af) berpelukan dan berciuman di depan umum akan dianggap hal yang sangat
memalukan dan tidak patut, namun sekarang hal itu dianggap biasa dan
patut-patut saja. Seseorang yang memegang minuman keras dengan tangan kiri
sambil berjalan modar-mandir dan tertawa-tawa adalah hal sangat bisa diterima
oleh umum dimanapun, namun tidak oleh Islam, dan Islam tidak mentolerirnya
sejak Rasulullah SAW ada sampai sekarang.
Imam Al-Ghazaly menyatakan bahwa
akhlaq adalah perbuatan seseorang yang dilakukan tanpa berfikir lagi, yaitu
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaanya sehingga dikerjakan dengan spontan.
Misalnya orang yang senantiasa makan dan minum dengan tangan kirinya, maka
dimanapun, dan dalam keadaan bagaimanapun ia akan spontan makan dan minum
menggunakan tangan kirinya. Orang yang tidak terbiasa mengucapkan salam kepada
sesama muslim dan terbiasa mengucapkan “hello” “goodbye” juga akan mengucapakan
“hello” “goodbye” ketika bertemu seseorang.
Oleh karena itu kita harus
membiasakan dan menshibghoh (mencelup) diri dengan akhlaq Islam, sehingga
mentradisi dalam jiwa dan kehidupan kita dan dimanapun serta kapanpun dengan
spontan terlihat bahwa akhlaq yang Islami merupakan akhlaq kita.
Allah SWT berfirman: “Shibghoh
Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghohnya dari Allah, dan kepada-Nyalah
kami mengabdikan diri.” (QS: Al-Baqarah:138).
Terakhir, Akhlaq Islam bukanlah
semata-mata anjuran menuju perbaikan nilai kehidupan manusia didunia, tapi ia
memberikan dampak bagi kehidupannya di akhirat. Seseorang yang berakhlaq baik
tentunya akan mendapat ganjaran pahala, dan sebaliknya orang yang berakhlaq
buruk pasti ia akan merasakan adzab Allah yang sangat pedih.
Seorang yang senantiasa mengucapkan
kata-kata yang baik, misalnya, tentunya baik buat dirinya dan orang lain
didunia ini dan juga menadapatkan ganjaran pahala yang akan menambah berat
timbangan amal sholehnya di hari akhirat kelak. Dan seorang pengumpat, pencaci,
penghasut tentunya akan memberikan akibat buruk bagi dirinya dan orang lain di
dunia dan melicinkan jalannya untuk menikmati siksa Allah di neraka kelak.
Inilah diantara ciri khas Akhlaq
Islam, yang pada akhirnya ia membuat setiap muslim terpaksa atau tidak untuk
menshibghoh dirinya dengan tata nilai yang telah Allah berikan kepada dia dan
dengan gamblang dan lengkap telah pula diimplementasikan oleh Muhammad SAW,
kekasih-Nya, manusia pilihan-Nya sebagai insan kamil.
2.4 Ciri-ciri Insan Kamil
Secara garis besar
ciri-ciri Insan Kamil dapat dikatagorikan menjadi tiga bagian yaitu:
1.
Mampu
berkomunikasi dengan Tuhan;
2.
Mampu
berkomunikasi dengan sesama makhluk;
3.
Mampu
berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
Untuk mengetahui
cirri-ciri Insan Kamil dapat ditelusuri pada berbagai pendapat yang dikemukakan
para ulama yang keilmuannya sudah diakui, termasuk didalamnya aliran-aliran.
Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1.Berfungsi Akalnya Secara Optimal
Fungsi
akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya
manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala
perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan essensinya dan
merasa wajib melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu.
Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang
baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil.
De¬ngan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan
perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada essensi perbuatan
tersebut.
2.Berfungsi Intuisinya
Insan
Kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya.
Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul).
Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya,
maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.
3.Mampu Menciptakan Budaya
Sebagai
bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai
insan, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh
potensi rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk
berpikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat
kemampuan berpikirnya itu, ma¬nusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi
juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup.
Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.
Tetapi
dalam kaca mata Ibn Khaldun kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah
lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses
tersebut dewasa ini dikenal dengan evolusi.
4.Menghiasi Diri dengan Sifat-sifat Ketuhanan
Pada
uraian tentang arti insan tersebut di atas telah disebutkan bahwa manusia
termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). la cenderung kepada
hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut
menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia sebagai khalifah yang
demikian itu merupakan gambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan
nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu.
Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar, ka¬rena memiliki daya
kehendak yang bebas.
5.Berakhlak Mulia
Sejalan
dengan ciri keempat di atas, insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia.
Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia
yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan dan
keindahan.
6.Berjiwa Seimbang
Menurut
Nashr, sebagai dikutip Komaruddin Hidayat, bahwa manusia modem sekarang ini
tidak jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa hakikat manusia terletak pada
aspek kedalamannya, yang bersifat permanen, immortal yang kini tengah
bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang teramat panjang.
Tetapi disayangkan, kebanyakan dari mereka lupa akan immortalitas dirinya yang
hakiki tadi. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang
bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketenteraman batin,
yang berarti tidak hanya ke¬seimbangan diri, terlebih lagi bila tekanannya pada
kebutuhan materi kian meningkat, maka keseimbangan akan semakin rusak.
2.5 Kriteria
dan Cara Pencapai menjadi Insan Kamil
Ciri – ciri atau kriteria Insan Kamil pada diri Rasullullah
SAW
Adapun beberapa ciri – ciri atau kriteria Insan Kamil yang
dapat kita lihat pada diri Rasulullah SAW yakni 4 sifat yakni :
1. Sifat amanah (dapat dipercaya)
Amanah / dapat dipercaya maksudnya
ialah dapat memegang apa yang dipercayakan seseorang kepadanya walaupun hanya
sesuatu yang kita anggap kurang berharga. Di zaman seperti sekarang ini sangat
sulit menemukan sifat manusia yang seperti itu, sebab bila kita lihat sekarang
ini hidup di dunia sangat sulit maka untuk bisa memenuhi hasrat dan
kebutuhannya manusia pun menghalalkan segala cara. Walaupun ada, sifat amanah
ini dimiliki hanya orang – orang yang mengerti tentang kehidupan di masa
sekarang dan di masa yang akan datang, maksudnya ia telah menyadari bahwa
kehidupan di dunia ini hanya sementara dan kehidupan yang kekal dan abadi hanya
di alam akhirat dengan dasar itulah orang – orang yang memiliki sifat amanah
dapat menerapkannya di kehidupannya sehari – hari.
2. Sifat fathanah (cerdas)
Seseorang yang memiliki kepintaran
di dalam bidang fomal atau di sekolah belum tentu dia dapat cerdas dalam menjalani
kehidupannya, sebab bila kita lihat kenyataan di masyarakat bahwa banyak
sarjana yang telah menyelesaikan studinya hanya menjadi pengangguran yang tak
dapat mengembangkan semua pengetahuan yang didapatnya itu menunjukkan bahwa ia
bukanlah seseorang yang cerdas. Cerdas ialah sifat yang dapat membawa seseorang
dalam bergaul, bermasyarakat dan dalam menjalani kehidupannya untuk menuju yang
lebih, tapi sifat cerdas ini tidaklah dimiliki setiap orang. Walaupun ada hanya
sedikit orang yang memiliki kecerdasan, biasanya orang memiliki kecerdasan ini
adalah orang telah mengalami banyak pengalaman hidup yang dapat berguna di
dalam menjalani kehidupan.
3. Sifat siddiq (jujur)
Jujur adalah sebuah kata yang sangat
sederhana sekali dan sering kita jumpai, tapi sayangnya penerapannya sangat
sulit sekali di dalam bermasyarakat. Entah dikarenakan apa dan kenapa kita
sebagai manusia sangat sulit sekali untuk berlaku jujur baik jujur dalam
perkataan dan perbuatan. Sifat jujur sering sekali kita temui di dalam kehidupan
sehari – hari tapi tidak ada sifat jujur yang murni maksudnya ialah, sifat
jujur tersebut mempunyai tujuan lain seperti mangharapkan sesuatu dari
seseorang barulah kita bisa bersikap jujur.
4. Sifat Tabligh (menyampaikan)
Maksudnya tabligh disini ialah
menyampaikan apa yang seharusnya di dengar oleh orang lain dan berguna baginya.
Tentunnya sesuatu yang akan disampaikan itu pun haruslah sesuatu yang benar dan
sesuai dengan kenyataan.
Sifat – sifat manusia sempurna, Sifat
– sifatnya terdiri dari :
Ø Keimanan
Ø Ketaqwaan
Ø Keadaban
Ø Keilmuan
Ø Kemahiran
Ø Ketertiban
Ø Kegigihan dalam kebaikan dan
kebenaran
Ø Persaudaraan
Ø Persepakatan dalam hidup
Ø Perpaduan dalam umah
Sifat – sifat inilah yang menjamin
manusia menjadi sempurna dan mencapai hasanah dalam dunia dan hasanah dalam
akhirat. Cara-cara mencapainya ialah dengan :
v Ilmu taubat dengan syarat –
syaratnya menghindari dari yang menyebabkan nafsu dengan mengawalnya dengan
mendisiplinkan pergaulan dan harta serta mengambilkan yang halal dan
membelanjakan dalam perkara halal, kemudian disertai dengan berhemat.
v Berjaga – jaga supaya amalan tidak binasa oleh
niat-niat yang merobohkannya seperti ria digantikan dengan ikhlas.
v Keadaan tergesa-gesa digantikan dengan sabar.
v Tidak cermat digantikan dengan sifat
cermat menyelamatkan diri daripada kelesuan.
v Dengan mengamalkan sifat harap dan
takut, maksudnya harap bahwa Allah akan menerima amalan dan menyelamatkan kita,
takut kalau-kalau Allah tidak mengampuni kita dan menerima amalan kita.
v Mengamalkan sifat puji dan syukur dalam hidup
terhadap Allah juga terhadap makhluk yang menjadi wasilah atau perantara
sampainya nikmat Allah kepada kita. Puji dan syukur itu dapat berupa rasa
gembira dan syukur terhadap nikmat Allah dan lidah mengucapkan kesyukuran,
al-hamdulillah, serta dengan melakukan perbuatan – perbuatan yang dirhidoi
Allah SWT.
2.6
Pendapat Para Ulama Mengenai Insan Kamil
Insan
kamil adalah konsep manusia paripurna. Manusia yang berhasil mencapai puncak
prestasi tertinggi dilihat dari beberapa dimensi. Berikut ini pendapat para
ulama mengenai Insan Kamil:
v
Abdul
Karim bin Ibrahim al-Jili (1365 – 1428) Insan kamil Artinya adalah manusia
sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang
berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh
sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya,
gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak
tasawuf filosofis.
v
Al-Jili
merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai
sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang
demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai
utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal
dan poros kehidupan di jagad raya ini.
v
Nur
Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping
terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam
AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi
Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan
tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan
mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian.
a.
Pertama,
insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna.
Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai
sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap
mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna
inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri
pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
b.
Kedua,
insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta
sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini,
nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik
manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan
yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang
sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia
menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi
al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani
dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia
melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi
tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat
Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Pada
tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam
suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau insan kamil.
Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya
menjadi hidup Tuhan (nur Muhammad).
v Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal tidak setuju dengan
teori para sufi seperti pemikiran al-Jili ini. Menurut dia, hal ini membunuh
individualitas dan melemahkan jiwa. Iqbal memang memandang dan mengakui Nabi
Muhammad SAW sebagai insan kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik.
Insan kamil versi Iqbal tidak lain
adalah sang mukmin, yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan,
dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi
tergambar dalam akhlak Nabi SAW. Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang
merupakan makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi. Untuk
menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati
akhlak Ilahi.
Sang mukmin menjadi tuan terhadap
nasibnya sendiri dan secara tahap demi tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal
melihat, insan kamil dicapai melalui beberapa proses. Pertama, ketaatan pada
hukum; kedua penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang
pribadi; dan ketiga kekhalifahan Ilahi. dan dari ensklopedi Islam terbitan
ikhtiar baru van hoeve
2.7 Penerapan Insan
Kamil dalam kehidupan sehari-hari
Kamus Dewan edisi ketiga
mentafsirkan istilah ‘kamil’ sebagai ‘sempurna dan lengkap’. Istilah yang
dipinjam daripada bahasa Arab ini sebenarnya merangkumi segala aspek dan
sifat-sifat baik yang perlu ada pada diri setiap manusia. Nilai-nilai baik ini
merangkumi akhlak dan akidah yang berteraskan al-Quran dan sunnah. Akidah yang
benar dan gambaran tentang kehidupan yang tepat dan tidak dipengaruhi oleh
kepalsuan, khurafat, dan falsafah-falsafah serta ajaran yang palsu, akan
memancarkan nilai-nilai benar yang murni di dalam hati. Insan kamil dapat
diterapkan di dalam kehidupan sehari – hari, namun tentunya kita lihat ciri –
ciri dan cara – cara mencapainya. Maka banyak orang – orang terpilihlah yang
mungkin mampu memiliki sifat – sifat seperti yang tersebut di atas. Yaitu orang
– orang dengan kualitas keimanan dan ketakwaan yang tidak sekedar biasa, orang
– orang yang dapat bertahan di dalam kesucian hati, pikiran dan perbuatan di
tengah besarnya godaan syaitan pada zaman sekarang ini.
Penerapan insan kamil dalam
kehidupan sehari – hari bukanlah perkara mudah, karena dari segi arti saja
insan kamil yaitu manusia yang sempurna. Sedangkan manusia sendiri, seperti
yang telah kita ketahui tak ada yang terlahir dengan sempurna. Manusia adalah
tempat segala kesalahan dan kekhilafan berasal.Namun kesempurnaan yang
dimaksudkan di sini bukanlah kesempurnaan dalam arti tak pernah melakukan
kesalahan sama sekali. Tak ada manusia yang tak pernah melakukan kesalahan, itu
kodrat. Karena itulah telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu cara untuk
mencapai insan kamil adalah dengan bertaubat dengan syarat – syaratnya dan
bertaubat hanya dilakukan oleh orang yang merasa melakukan kesalahan.
Meskipun begitu, seseorang yang
ingin mencapai tingkatan insan kamil harus tetap menjaga segala tingkah
lakunya, agar jangan sampai keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya. Disamping
itu, seorang insan kamil juga harus menjaga diri dari kesalahan – kesalahan
yang mungkin dianggap kecil dalam kehidupan sehari – hari, seperti tergesa –
gesa dan tidak cermat. Hal seperti ini mungkin Sudah menjadi bagian hidup kita
sebagai manusia biasa, namun sebagai insan kamil sekecil apapun itu tetaplah
harus dihindarkan agar tercapai kesempurnaan yang diharapkan Melahirkan insan
yang kamil bukanlah semudah memberi pendidikan secara formal dari kecil
sehingga dewasa. Tanggung jawab dari dalam diri insan itu sendiri. Kesadaran
ini bukan saja merangkumi aspek kecintaan terhadap negara, bangsa dan agama
malah menyeluruh meliputi keinsafan dan kesedaran tentang tanggungjawab setiap
manusia sesama manusia dan kepada Penciptanya. Oleh hal yang demikian itu,
pembelajaran dan pendidikan sepanjang hayat harus terwujud dalam setiap diri
manusia. Di zaman sekarang ini sangat sulit bagi kita untuk dapat meihat atau
menemukan seseorang yang menerapkan insan kamil di dalam kehidupannya, seperti
yang kita tahu insan kamil merupakan perwujudan dari sifat – sifat dan
perbuatan nabi Muhammad SAW yang sangat sempurna yang tidak semua orang dapat
melakukannya.
Setelah kita melihat bagaimana
tinggi dan agungnya pribadi Rasulullah Saw dari sisi rohaninya, lantas apakah
hati kita tidak tergerak untuk menyatakan kekaguman dan keterpesonaan terhadap
beliau, dengan memuji dan menyanjungnya?, Sungguh telah banyak orang yang
terpesona dengan keindahan akhlak beliau dan berdecak kagum dengan kepribadian
beliau sepanjang sejarah umat manusia. Kekaguman itu mereka ungkapkan ke dalam
puisi-puisi, pembacaan-pembacaan maulud dan manaqib Rasulullah Saw.
Merekalah yang benar-benar memahami
arti sebuah kebesaran dan keindahan. Entahlah kita, apakah termasuk dari orang
yang enggan karena malu, atau karena hati yang keras, sehingga tidak mengenal
arti keindahan dan kebesaran pribadi beliau, serta menganggap bahwa memuji dan
menyanjung beliau sebagai pengkultusan individu.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Insan Kamil artinya adalah manusia sempurna, berasal
dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna.
Pada dasarnya semua manusia di dunia ini menghendaki dirinya
menjadi insan kamil (manusia sempurna) sebagaimana dicerminkan setiap
Nabi/Rasul yang berperan sebagai pembawa risalah sekaligus figur atau uswatun
hasanah yang mencerminkan salah satu sikap insan kamil. Islam dengan rasulnya
sebagai teladan dalam pembentukan akhlak yang mulia telah memberikan konsep
yang jelas tentang insan kamil (manusia sempurna) dalam tolak ukur kesempurnaan
makhluk.
Secara
garis besar ciri-ciri Insan Kamil dapat dikatagorikan menjadi tiga bagian
yaitu: Mampu berkomunikasi dengan Tuhan; Mampu
berkomunikasi dengan sesama makhluk; Mampu berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
3.2 Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, kami memberikan saran kepada
seluruh rekan – rekan semuanya, agar mencoba untuk menjadi seorang yang insan
kamil artinya manusia yang sempurna dipandangan makhluknya.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abudin. 2002. Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada
___. 2011. Konsep Insan Kamil. [online]. Tersedia : http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2115514-konsep-insan-kamil/-diakses-25-04-11
__. 2011. Insan Kamil. [online]. Tersedia : http://www.republika.co.id:8080/berita/8318/Insan_Kamil-diakses-25-04-11
___. 2011. Insan Kamil. [online]. Tersedia : http://fixguy.wordpress.com/insan-kamil/-diakses-25-04-11
Sandi, Ari. 2011. [online]. Tersedia : http://arisandi.com/?p=143-diakses-25-04-11
___. 2011. Insan Kamil. [online]. Tersedia : http://aljawad.tripod.com/arsipbuletin/insan_kamil.htm-diakses-25-04-11
___. 2011. Insan Kamil. [online]. Tersedia : http://moeds2000.blog.com/2011/01/19/insan-kamil/-diakses-25-04-11
___. 2011. Insan Kamil. [online]. Tersedia : http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080107175300AAmUsaA-diakses-25-04-11
___. 2011. Insan Kamil Bagian 1. [online]. Tersedia : http://kalamunida.blogdetik.com/2011/03/17/insan-kamil-bagian-1/-diakses-25-04-11
___. 2011. Ciri – ciri Insan Kamil. [online]. Tersedia : http://blog.re.or.id/search/ciri+ciri+insan+kamil+dalam+tasawuf/-diakses-25-04-11
[1]
Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawir
[2]
Harun Nasution, “Enseklopedi Islam”
[3]
Sirajuddin Abbas, ” 40 Masalah Agama Jilid I.
[4]
Prof. Rivai Siregar “Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme” hal. 211
[5]
Lihat Futuhatil Makiyah Vol. IV : 13
[6]
Al-Jilli, “Insan Kamil” Alih Bahasa Misbah Al-Majid, Jakarta, PMP, 2005
[7]
Prof. Saiq Aqil Siraj “Manusia Sempurna dalam Pandangan Sufiunisme, 2000,
Makalah
[8]
Ibid, hal. 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar