Rabu, 13 Juni 2012

Makalah Ilmu Tasawuf_INSAN KAMIL


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Manusia adalah Sebuah ciptaan yang paling sempurna dibanding ciptaan yang lain, manusia yang dibekali dengan akal dan hati sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. sungguh sangat unik ketika kita mengkaji manusia karena penuh misteri khususnya dalam hal pencapaian diri atau pencapaian sebagai insane kamil, meskipun hal itu sulit untuk diraih tapi kita pun tidak semudah untuk menyerah, dengan dibekali kelebihan yang ada pada diri manusia maka tidak menutup kemungkinan untuk bisa mencapainya. mengutip pernyataan Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah pengantar (Murtadha Muthahhari, 1994) mengatakan bahwa manusia merupakan miniatur dari alam raya. Jika pada alam raya terdapat tiga tingkat alam yaitu : rohani, khayali, dan jasmani, maka pada manusia ketiga alam tersebut juga terwujud yaitu dalam bentuk ruh, nafs(diri), dan jism (tubuh).
Perlu kita ketahui Insan(manusia) adalah makhluk Allah yang diciptakan dengan sebaik-baiknya penciptaan. meskipun dalam prakteknya manusia tidak bisa sempurna tapi kitapun tetap berusah untuk menjadi pribadi-pribadi yang selalu berusaha dan berbuat yang terbaik bagi yang lainya.
1.2    Rumusan Masalah
1.      Jelaskan apa yang dimaksud Insan Kamil ?
2.      Bagaimanakah konsep Insan Kamil dalam Islam ?
3.      Bagaimana konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an dan Hadist?
4.      Sebutkan ciri-ciri Insan Kamil?
5.      Bagaimana criteria dan cara pencapaian agar bisa menjadi Insan Kamil ?
6.      Bagaimana pendapat para ulama mengenai Insan Kamil?
7.      Bagaimana penerapan Insan Kamil dalam kehidupan sehari-hari?

1.3    Tujuan
  1.  Untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf .
2.      Sebagai bahan kajian para mahasiswa mengenai Akhlah Tasawuf khususnya tentang Insan Kamil.
3.      Mengetahui tentang konsep insan kamil dalam Islam
  1. Mengetahui konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an dan Hadist?
  2. Mengetahui  ciri-ciri Insan Kamil?
  3. Mengetahui criteria dan cara pencapaian agar bisa menjadi Insan Kamil ?
  4. Mengetahui pendapat para ulama mengenai Insan Kamil?
  5. Mengetahui penerapan Insan Kamil dalam kehidupan sehari-hari?




















BAB 2
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata: Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.
Insan Kamil berasal dari bahasa Arab yang secara harpiah mempunyai pengertian manusia yang sempurna.[1]  Istilah ini muncul pada mulanya di kalangan orang-orang tasawuf dan kemudian beredar secara luas pada segenap lapisan masyarakat Islam. la dipahami pada umumnya sebagai sebutan untuk manusia tertentu, yakni untuk mereka yang memiliki keutamaan jiwa yang sempurna. Para nabi atau rasul disepakati memiliki keutamaan jiwa paling sempurna, dan karena itu dipandang paling layak disebut Insan Kamil. Oleh kaum Syi’ah Imamiyah, para imam mereka dimasukkan ke dalam kategori Insan Kamil; demikian juga oleh orang-orang tasawuf, para wali atau Sufi dimasukkan ke dalam kategori tersebut.[2]
Hanya para nabi atau rasul saja yang memiliki keutamaan jiwa yang paling sem­purna, tanpa melalui latihan atau pembinaan yang keras. Mereka lahir dengan potensi istimewa, sehingga mereka secara alamiah saja dapat tumbuh menjadi Insan Kamil. Jiwa mereka penuh dengan sifat­sifat terpuji atau akhlak ketuhanan, dan bersih dari sifat-sifat tercela.[3] Manusia bukan nabi atau rasul tidak demikian; mereka, menurut orang-orang tasawuf, haruslah berjuang keras mengikuti latihan-latihan dalam rangka mengosongkan jiwa mereka dari sifat-sifat tercela dan berhias dengan sifat atau akhlak terpuji. Mereka yang berjuang keras untuk mencapai derajat atau maqam makrifat (mengenal Tuhan secara langsung melalui mata hati nurani) pada hakikatnya berjuang untuk mencapai derajat Insan Kamil, kendati mereka tetap berada di bawah derajat para nabi atau rasul Tuhan.[4]
Sebutan Insan Kamil agaknya dimunculkan pertama kali oleh Ibnu Arabi (w.1240/638 H), pendiri paham wahdat al­wujud (kesatuan wujud). la mengikuti paham al-Hallaj, yang menyatakan bahwa makhluk pertama yang diciptakan Tuhan adalah Nur Muhammad atau Ruh Muhammad[5]; Nur atau Ruh Muhammad inilah yang selanjutnya disebut juga oleh Ibnu Arabi dengan sejumlah nama, seperti Hakikat Muhammadiyah. Akal Pertama. Hakikat Insaniyah dan Insan Kamil. Dengan demikian Ibnu Arabi telah mengacukan sebutan Insan Kamil bukan saja kepada manusia tertentu dari turunan Adam, tapi juga kepada Nur Muhammad yang kadim dan bersifat imateri, ciptaan pertama dari Tuhan. Insan Kamil dengan pengertian yang mengacu kepada ciptaan pertama itu, diuraikan lebih luas oleh Abdul Karim al-Jilil dalam bukunya, al-Insan al-kamil fi Ma`rifat al-Awakhir wa al-Awail, dan para pengikut paham kesatuan wujud Iainnya[6]
Insan Kamil yang mengacu kepada makhluk pertama, merupakan hakikat yang menghimpun segala Hakikat dari keanekaragaman yang terdapat dalam alam empiris. la juga merupakan wadah tajalli, pancaran, atau manifestasi segenap nama dan sifat yang memancar dari Wujud Mutlak (Tuhan). Sebagai makhluk pertama, Insan Kamil merupakan Akal Pertama atau Wujud Ilmi, yang memancar dari Wujud Mutlak. la merupakan sumber segala ilmu[7]. la sumber ilmu bagi para nabi atau rasul, para Sufi, atau para wali. Penyebutan para nabi atau rasul, para sufi, atau para wali dengan sebutan Insan Kamil, tidak lain adalah karena merekalah orang-orang yang merasakan sungguh-sungguh kehadiran Insan Kamil (makhluk pertama itu) dalam jiwa mereka, dan menerima limpahan ilmu darinya. Mereka tidak mungkin menerima kehadiran atau pancaran Insan Kamil itu, bila hati atau jiwa mereka tidak suci[8].
Manusia-manusia turunan Adam, yang termasuk kategori Insan Kamil, merupakan wadah yang paling sempurna dalam dunia empires, untuk menerima tajalli (penampakan secara tidak langsung segenap sifat dan nama Tuhan). Dengan kata lain merekalah yang mampu dengan sempurna mencerminkan atau membayangkan keberadaan Tuhan dengue segala nama dan sifat-Nya. Manusia lain yang bukan Insan Kamil, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda empiris lainnya, kendati juga berfungsi sebagai wadah tajalli Tuhan, tidaklah dapat dengan sempurna mencerminkan atau membayangkan keberadaan Tuhan dengan segala nama dan sifat-Nya.
Insan Kamil artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengeneai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkail dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna.
Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya. Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau insan kamil. Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (nur Muhammad). Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori para sufi seperti pemikiran al-Jili ini. Menurut dia, hal ini membunuh individualitas dan melemahkan jiwa. Iqbal memang memandang dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai insan kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik.
Insan kamil versi Iqbal tidak lain adalah sang mukmin, yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar dalam akhlak Nabi SAW. Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang merupakan makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi. Untuk menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati akhlak Ilahi. Sang mukmin menjadi tuan terhjadap nasibnya sendiri dan secara tahap demi tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal melihat, insan kamil dicapai melalui beberapa proses. Pertama, ketaatan pada hukum; kedua penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi; dan ketiga kekhalifahan Ilahi.
Selanjutnya Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjuk¬kan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya.
Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.
Selanjutnya kata insan dijumpai di dalam al-Qur’an dan dibedakan dengan istilah basyar dan al-nas. Kata insan jamak-nya kata al-nas. Kata insan mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengeta-hui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata nasiya yang artinya lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata buas. Dengan bertumpu pada asal kata anasa, maka insan mengandung arti melihat, mengetahui dan meminta izin, dan semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran.
2.2  Konsep Insan Kamil dalam Islam
Pada dasarnya semua manusia di dunia ini menghendaki dirinya menjadi insan kamil (manusia sempurna) sebagaimana dicerminkan setiap Nabi/Rasul yang berperan sebagai pembawa risalah sekaligus figur atau uswatun hasanah yang mencerminkan salah satu sikap insan kamil. Islam dengan rasulnya sebagai teladan dalam pembentukan akhlak yang mulia telah memberikan konsep yang jelas tentang insan kamil (manusia sempurna) dalam tolak ukur kesempurnaan makhluk.
DR Abbas Mahmud al-Akad, salah seorang mantan Syekh al-Azhar mengemukakan bahwa sosok insan kamil dalam Islam ada pada kedudukan manusia sebagai Khalifah fi al-Ard (pemimpin di muka bumi).
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS al-Baqarah ayat 30:
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ  

Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
Dalam ayat tersebut, Allah SWT memberikan mandat kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr Hamka, Abbas Mahmud al-Akad menguraikan bahwa untuk menjadi Khalifah fi al-Ard yang merupakan sosok insan kamil manusia harus mampu mempertanggungjawabkan empat hal di hadapan Allah SWT kelak.
Pertama, manusia harus dapat mempertanggungjawabkan janji-janjinya, baik janjinya kepada Allah SWT maupun kepada sesama manusia.
Kedua, mempertanggungjawabkan ide dan gagasannya. Manusia yang dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa kemudian dikarunia pendengaran, penglihatan, dan akal agar bersyukur atas segala anugerah yang dia nikmati Seperti tercermin dalam Surat An-Nahl, ayat 78: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.”
Dengan nikmat-nikmat itu manusia mempunyai kemampuan menciptakan gagasan-gagasan yang kelak harus dipertanggungjawabkannya, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat An-Nahl, ayat: 56:
tbqè=yèøgsur $yJÏ9 Ÿw tbqßJn=ôètƒ $Y7ŠÅÁtR $£JÏiB óOßg»oYø%yu 3 «!$$s? £`è=t«ó¡çFs9 $£Jtã óOçFZä. tbrçŽtIøÿs? ÇÎÏÈ  
Artinya : “Demi Allah, sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang telah kamu lakukan.”
Pada dasarnya, Islam sangat mendorong agar manusia berkreasi namun kesemuanya harus dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut ini:
“Barang siapa berinisiatif yang baik menurut kaidah Islam maka ia akan mendapatkan dua pahala, pahala atas idenya yang baik itu dan pahala sebesar pahala orang yang mengikutinya. Dan barang siapa yang mempunyai gagasan yang buruk menurut kaidah Islam, maka ia akan memperoleh dua dosa, dosa atas gagasannya yang buruk itu dan dosa sebesar dosa orang yang mengikutinya.”
Kita harus menyadari bahwa jika kita menjadi public figure, maka ketika perilaku kita berupa hal yang baik menurut Islam kemudian ditiru orang yang melihatnya, maka Insya Allah akan mendapat pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikit pun. Tapi sebaliknya, bila kita menelurkan kreasi yang buruk dan kemudian ditiru orang lain, maka kita akan mendapat dosa ganda betapa pun kita sudah meninggal dunia.
Bahkan, jika kita memegang hak pembuat kebijakan, ketika undang-undang atau peraturan yang kita buat itu merupakan maksiat kepada Allah, maka kita akan mendapatkan dosa sebanyak pengamal undang-undang itu betapa pun kita sudah meninggal, sepanjang masih ada orang yang memakai undang undang atau peraturan itu.
Ketiga, mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat An-Nahl ayat 93:
öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur @ÅÒム`tB âä!$t±o Ïôgtƒur `tB âä!$t±o 4 £`è=t«ó¡çFs9ur $£Jtã óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÒÌÈ  

Artinya : “Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”
Bagi orang yang beriman kepada Hari Akhir, harus meyakini bahwa segala apa yang kita perbuat di dunia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu hadis yang berbunyi:
“Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba di Hari Makhsyar  sampai ia mampu  menjawab pertanyaan tentang: Umurnya dihabiskan untuk apa? Dengan ilmunya ia berbuat apa? Dari mana hartanya diperoleh dan digunakan untuk apa? Untuk apa ia perbuat dengan badan atau raganya?”
Selanjutnya, jika kita perhatikan tentang pertanyaan-pertanyaan yang akan kita hadapi di akhirat kelak, maka ketika ditanya tentang harta mula-mula kita ditanya dari mana harta itu diperoleh, lalu kemudian untuk apa digunakan harta itu.
Berbeda dengan ilmu yang tidak ditanya dari mana ilmu itu didapat. Karenanya tidak dipermasalahkan kepada siapa kita belajar meski dengan orang kafir sekali pun. Akan tetapi yang ditanyakan adalah apa yang kita perbuat dengan ilmu itu, untuk maksiatkah atau untuk melakukan hal-hal yang Allah ridhai.
Keempat, mempertanggungjawabkan nikmat-nikmat yang telah diterima. Apakah nikmat yang diperoleh dengan tanpa dicari, atau pun nikmat yang diperoleh dengan cara dicari, misalnya jabatan, harta dan lain lain. Sebagaimana terdapat firman Allah SWT dalam Surat At-Takaatsur ayat 8: “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).”
Atas penjelasan di atas, jika kita ingin dapat mempertanggungjawabkan nikmat-nikmat yang Allah berikan, maka yang harus diperhatikan adalah jika nikmat itu harus dicari, maka carilah dengan cara yang benar atau diridhai Allah.
Kemudian mensyukuri nikmat tersebut, yaitu mengelolanya dengan baik untuk dipergunakan pada hal-hal yang diridhai Allah, misalnya dalam rangka mengembangkan potensi diri haruslah disalurkan pada hal-hal yang Allah ridhai. Misalnya, jika kita ingin mengembangkan potensi jiwa seni kita, hendaklah diingat bahwa seni itu harus tidak menyimpang dari tujuan hidup manusia yaitu semata-mata untuk mengabdi pada Allah, sehingga tidak ada bentuk seni yang maksiat (asusila/pornografi) hanya karena beranggapan itu hak asasi manusia dan seni untuk seni tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Demikian pula jangan kita berprinsip bisnis dan politik tidak ada sangkut pautnya dengan agama.
Alquran ataupun hadis tidak pernah secara eksplisit menjelaskan tentang ''insan kamil''. Kita hanya memperoleh informasi bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dengan bentuk yang paling baik, seperti dalam surat At-Tin. Dalam surat tersebut dijelaskan manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang paling baik. Tetapi bentuk yang paling baik tersebut bisa berbalik menjadi bentuk yang paling hina/rendah, apabila manusia tidak mampu menjaga dan mempertahankannya.
Adapun cara menjaga dan mempertahankan bentuk yang paling baik tersebut adalah beriman dan beramal saleh. (QS.At-Tin/95:1-8). Amal saleh tersebut mencakup dua dimensi, yakni dimensi ketuhanan (vertikal) dalam rangka menjalin kerja sama yang baik dengan Allah (habl min Allah) dan dimensi kemanusiaan (horizontal) dalam rangka menjalin kerja sama yang baik dengan sesama (Habl min al-Nas) dan tentunya dengan alam sekitar. (QS. Ali 'Imran/3:112).
Di dalam hadis juga kita dapatkan informasi secara implisit bisa kita maknai sebagai kiat untuk mencapai taraf ''insan kamil''. Hadis riwayat Bukhari atau Muslim tentang percakapan Nabi Muhanmmad SAW dengan Jibril mengenai Iman, Islam dan Ihsan, merupakan pelajaran berharga bagi manusia yang hendak mencapai kesempurnaan hidup. Iman, Islam dan Ihsan adalah tiga pilar utama (ajaran) serta faktor penentu bagi kesempurnaan hidup manusia.
Iman adalah percaya kepada enam rukun iman dan Islam adalah kepasrahan diri kepada Allah sebagai manifestasi iman yang diwujudkan dalam bentuk lima amal perbuatan saleh (baik). Sementara Ihsan adalah kelengkapan dari kedua unsur tersebut, yakni Iman dan Islam seseorang belum sempurna kalau belum mampu menghadirkan Ihsan dalam dirinya. Yakni beribadah (berkehendak, bersikap dan berbuat) seolah-olah melihat Allah atau dengan keyakinan bahwa Allah senantiasa mengawasi segala amal perbuatan kita.
Dengan demikian maka ''insan kamil'' adalah manusia yang dalam hidupnya senantiasa beramal saleh (berbuat baik) didasari dengan Iman kepada Allah yang mewujud dalam sikap taqwa. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat Al-Hujurat/49:13, ''Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling tinggi kualitas taqwanya''.

2.3  Konsep Insan Kamil Menurut Al-Qur’an dan Hadist
Nabi Muhammad Saw disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  
Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
Perwujudan insan kamil dibahas secara khusus di dalam kitab-kitab tasawuf, namun konsep insan kamil ini juga dapat diartikulasikan dalam kehidupan kontemporer. Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah SAW yang menjadi uswah hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia.
Allah SWT berfirman:
            y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ  
Artinya : “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam:4)
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  
Artinya  : “Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullaah suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu orang-orangmengharapkan (keridhoan) Allah dan (kebahagiaan) hari akhirat, serta banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab:21)
Ÿ@÷dr'¯»tƒ É=»tGÅ6ø9$# ôs% öNà2uä!$y_ $oYä9qßu ÚúÎiüt7ムöNä3s9 #ZŽÏWŸ2 $£JÏiB öNçFYà2 šcqàÿøƒéB z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# (#qàÿ÷ètƒur Ætã 9ŽÏVŸ2 4 ôs% Nà2uä!%y` šÆÏiB «!$# ÖqçR Ò=»tGÅ2ur ÑúüÎ7B ÇÊÎÈ   Ïôgtƒ ÏmÎ/ ª!$# ÇÆtB yìt7©?$# ¼çmtRºuqôÊÍ Ÿ@ç7ß ÉO»n=¡¡9$# Nßgã_̍÷ãƒur z`ÏiB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ óOÎgƒÏôgtƒur 4n<Î) :ÞºuŽÅÀ 5OŠÉ)tGó¡B ÇÊÏÈ  

Artinya : “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al Maidah 15-16)
Firman Allah itu menjelaskan tentang nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad sebagai seorang Rasulullah Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat.
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.” (Al Ahzab: 45-47).
Muhammad yang dijuluki Allah sebagai cahaya adalah nama yang menjadi figur sentral ajaran Islam. Dalam berjanji,Muhamamad bahkan diibaratkan bagai cahaya purnama. Cahaya yang tidak menyilaukan, cahaya yang menyejukkan dan cahaya yang romantis. Jika manusia adalah sebaik-baik penciptaan maka Muhammad adalah sebaik-baik manusia. Tak ada manusia yang mampu menandingi penciptaan wujud Muhammad secara lahiriah, juga sifat, dan perbuatannya.
Muhammad bin Abdullah, kini sudah tidak ada lagi. Sebagai manusia, Muhammad wafat lebih dari empat belas abad yang lalu. Namun memahami Muhammad, tidak cukup hanya pada sebatas wujud secara fisik. Muhammad adalah ciptaan terbaik yang akan terus membuat dahaga siapa saja yang mencoba memahaminya. Tak keliru jika ada tamsil bahwa memahami Muhammad dari nama, sifat, perbuatan maupun wujud dirinya bagai meneguk air di lautan. Makin diteguk, semakin haus.
Bagaimana kehidupan sebagai pribadinya adalah rujukan kita. Cara makan dan minumnya adalah standar akhlaq kita. Tidur dan berjalannya adalah juga standard kita. Tangisnya, senyumnya, berfikir dan merenungnya, bicaranya dan diamnya adalah juga merupakan tangis, senyum, berfikir dan merenungnya, bicara dan diamnya kita.
Kehidupannya sebagai kepala rumah tangga, anggota masyarakat, kepala negara, da’i, jenderal perang adalah rujukan kehidupan kita. Demikianlah, Rasulullah SAW memang telah menjadi ukuran resmi yang Allah SWT turunkan bagi kita, dan sampai kapanpun ini tidak akan pernah berubah.
Orang-orang ahli tauhid dan hakikat bahkan memaknai Muhammad, jauh hingga ke dasar penciptaan hakikinya. Syekh Muhammad Nafis al Banjari dalam Addurun Nafis, misalnya, mengaitkan nur Muhammad dengan martabat tujuh (tanazul zat). Tujuh martabat dalam tanazul zat meliputi ahdiyah, wahdah, wahdiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam dan alam insan. Ulama besar dari Banjarmasin itu menempatkan nur Muhammad pada martabat wahdah yaitu martabat kedua dari tujuh martabat yang diistilahkan tanazul zat.
1.      Martabat Ahdiyah
      Segala sifat dan asma lahir pada martabat ahdiyah. Namun sifat dan asma menjadi binasa di dalam zat wajibul wujud. Martabat ahdiyah juga disebut martabat kunhi zatullah. Ia merupakan puncak segala martabat. Tak ada martabat di atasnya setelah martabat ahdiyah.
2.      Martabat Wahdah
      Pada martabat wahdah, lahir segala sifat dan asma secara ijmal atau terhimpun utuh. Martabat ini disebut sebagai hakikat Muhammad dan menjadi asal dari segala yang hidup dan maujud.
      Muhammad dipahami sebagai hawiyatul ‘alam atau hakikat alam dan segala sesuatu sebagaimana hadis yang bersumber dari Jabir ra.
      “Awal mula yang dijadikan Allah Ta’ala itu adalah cahaya Nabimu hai Jabir. Kemudian dijadikan dari padanya segala sesuatu. Sedangkan dirimu merupakan salah satu dari sesuatu itu.”
      Hadis lain menerangkan,  “Aku dari Allah dan segala mukmin itu dariku.” Ada pula hadis yang menjelaskan, “Bahwasanya Allah Ta’ala telah menjadikan Ruh Nabi Muhammad SAW dari Zat-Nya dan menjadikan sekalian alam dari nur Muhammad.”
      Sebuah riwayat Abdur Razaq ra. yang berasal dari Sayyidina Jabir ra. menyatakan,  “Jabir datang kepada Rasulullah SAW dengan pertanyaan: ‘Ya Rasulullah, khabari aku tentang awal mula suatu yang dijadikan Allah Ta’ala.’ Maka kata nabi, ‘Hai Jabir, bahwasanya Allah Ta’ala telah menjadikan terlebih dahulu dari sesuatu itu Nur Nabimu yang telah tercipta dari Zat-Nya.’”
      Pemahaman tentang Nur Muhammad berasal dari Zat-Nya dapat diilustrasikan pada pengertian antara cahaya matahari dan wujud matahari. Dalam sudut pandang rupa, cahaya bukanlah matahari dan matahari juga bukan cahaya. Keduanya mempunyai wujud dan sifat masing-masing. Tapi dilihat dari makna yang hakiki, cahaya merupakan diri matahari, karena tak akan ada cahaya tanpa matahari dan sebaliknya tak akan disebut matahari tanpa mengeluarkan cahaya. Jadi pada hakikatnya cahaya adalah diri matahari itu sendiri, dan tidak lain.                  Memahami nur sebagai diri Muhammad jangan seperti memahami cahaya secara harfiah, melainkan harus kepada esensi sebagaimana Allah juga menamakan diri-Nya sebagai sumber cahaya langit dan bumi, “Allah Pemberi cahaya kepada langit dan bumi.” (An Nur: 35).
3.      Martabat Wahdiyah
      Martabat wahdiyah merupakan tempat lahir segala sifat dan asma dengan tafsil bahwa sesuatu yang ada pada martabat wahdah terurai sifat dan asma yang masih mujmal pada martabat wahdah. Pada martabat ini terjadi prosesi khitab dari kalam qadim kepada alam sifat dan asma. “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaahaa: 14)


4.      Martabat Alam Arwah
      Martabat alam arwah adalah hakikat semua ruh yang lahir dan menjadi kenyataan semua yang ada pada martabat ahdiyah, wahdah dan wahdiyah. Martabat ini disebut juga dengan nama Hakikat Muhammad atau Muhammad Hakiki.
5.      Martabat Alam Mitsal
      Ini adalah alam yang secara realitas bersifat abstrak dan sangat halus sehingga tidak dapat dibagi secara material. Asal muasal segala sesuatu yang halus tanpa menerima bahagian jasadi diciptakan pada martabat alam mitsal. Dalam Al Quran alam mitsal disebut dengan alam gaib, sebuah alam yang kondisinya tidak dapat dilihat secara kasat mata seperti surga, neraka dan termasuk alam jin.
6.       Martabat Alam Ajsam
      adalah martabat tempat dari segala sesuatu dijadikan berupa fisik dalam wujud jasmani yang kasar dan menerima bahagian. Martabat ini juga disebut alam syahadat, atau alam penyaksian. Kondisinya tersusun dari beberapa unsur material seperti api, angin, tanah, air dan lainnya dan menjadikan segala sesuatu yang ada pada alam ini, dalam proses harus melalui ekosistem. Martabat ini juga disebut martabat alam ajsad sehingga segala sesuatu apapun dapat disaksikan dengan mata lahiriah karena telah menjadi fisik materi.
7.      Martabat Alam Insan
      Martabat alam insan atau insan kamil adalah martabat yang menghimpunkan segala martabat ahdiyah, wahdah, wahdiyah, alam arwah, alam mitsal dan alam ajsam. Orang yang berhasil mencapai proses tahapan spiritual dengan melewati enam martabat tersebut disebut insan kamil (manusia yang sempurna). Martabat ahdiyah, wahdah dan wahdiyah adalah tiga martabat alam qadim. Tiga martabat lainnya merupakan martabat huduts.
      Martabat alam insan menjadi gelar dan disandang oleh orang-orang yang telah mencapai puncak perjalanan rohani, sebagaimana yang dicapai oleh Nabi Muhammad SAW dengan semua gelar dari Allah termasuk gelar khuluqin ‘azhim (akhlak yang agung).
      Rasulullah SAW bersabda sehubungan dengan akhlaq, hati dan lisan: “Iman seorang hamba tidaklah lurus sehingga lurus hatinya. Dan tidak akan lurus hati seorang hamba sehingga lurus lisannya.” (H.R. Ahmad).
      Sehubungan dengan hubungan sosial, beliau bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamunya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dan masih banyak lagi ibrah lainnya dari kehidupan Rasulullah SAW, yang tidak akan mungkin cukup kertas ini untuk mengungkapkannya, yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan akhlaq beliau, baik akhlaq terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap makhluk lainnya dan tentunya akhlaq terhadap Khaliqnya sebagai insan kamil.
Jadi akhlaq Islam itu sudah ada formatnya dan juga mapan, berlainan dengan akhlaq, moral, etika dalam sistem budaya buatan manusia diluar Islam yang tidak pernah memiliki standar baku dan senantiasa berubah bergantung pada main stream budaya yang ada pada waktu itu.
Ukuran kebaikan dan kesopanan begitu relatif dan variatif, bergantung kepada tempat dan waktu. Dahulu dua orang yang (ma’af) berpelukan dan berciuman di depan umum akan dianggap hal yang sangat memalukan dan tidak patut, namun sekarang hal itu dianggap biasa dan patut-patut saja. Seseorang yang memegang minuman keras dengan tangan kiri sambil berjalan modar-mandir dan tertawa-tawa adalah hal sangat bisa diterima oleh umum dimanapun, namun tidak oleh Islam, dan Islam tidak mentolerirnya sejak Rasulullah SAW ada sampai sekarang.
Imam Al-Ghazaly menyatakan bahwa akhlaq adalah perbuatan seseorang yang dilakukan tanpa berfikir lagi, yaitu sesuatu yang sudah menjadi kebiasaanya sehingga dikerjakan dengan spontan. Misalnya orang yang senantiasa makan dan minum dengan tangan kirinya, maka dimanapun, dan dalam keadaan bagaimanapun ia akan spontan makan dan minum menggunakan tangan kirinya. Orang yang tidak terbiasa mengucapkan salam kepada sesama muslim dan terbiasa mengucapkan “hello” “goodbye” juga akan mengucapakan “hello” “goodbye” ketika bertemu seseorang.
Oleh karena itu kita harus membiasakan dan menshibghoh (mencelup) diri dengan akhlaq Islam, sehingga mentradisi dalam jiwa dan kehidupan kita dan dimanapun serta kapanpun dengan spontan terlihat bahwa akhlaq yang Islami merupakan akhlaq kita.
Allah SWT berfirman: “Shibghoh Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghohnya dari Allah, dan kepada-Nyalah kami mengabdikan diri.” (QS: Al-Baqarah:138).
Terakhir, Akhlaq Islam bukanlah semata-mata anjuran menuju perbaikan nilai kehidupan manusia didunia, tapi ia memberikan dampak bagi kehidupannya di akhirat. Seseorang yang berakhlaq baik tentunya akan mendapat ganjaran pahala, dan sebaliknya orang yang berakhlaq buruk pasti ia akan merasakan adzab Allah yang sangat pedih.
Seorang yang senantiasa mengucapkan kata-kata yang baik, misalnya, tentunya baik buat dirinya dan orang lain didunia ini dan juga menadapatkan ganjaran pahala yang akan menambah berat timbangan amal sholehnya di hari akhirat kelak. Dan seorang pengumpat, pencaci, penghasut tentunya akan memberikan akibat buruk bagi dirinya dan orang lain di dunia dan melicinkan jalannya untuk menikmati siksa Allah di neraka kelak.
Inilah diantara ciri khas Akhlaq Islam, yang pada akhirnya ia membuat setiap muslim terpaksa atau tidak untuk menshibghoh dirinya dengan tata nilai yang telah Allah berikan kepada dia dan dengan gamblang dan lengkap telah pula diimplementasikan oleh Muhammad SAW, kekasih-Nya, manusia pilihan-Nya sebagai insan kamil.
2.4  Ciri-ciri Insan Kamil
Secara garis besar ciri-ciri Insan Kamil dapat dikatagorikan menjadi tiga bagian yaitu:
1.      Mampu berkomunikasi dengan Tuhan;
2.      Mampu berkomunikasi dengan sesama makhluk;
3.       Mampu berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
            Untuk mengetahui cirri-ciri Insan Kamil dapat ditelusuri pada berbagai pendapat yang dikemukakan para ulama yang keilmuannya sudah diakui, termasuk didalamnya aliran-aliran. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1.Berfungsi Akalnya Secara Optimal
Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan essensinya dan merasa wajib melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil. De¬ngan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada essensi perbuatan tersebut.
2.Berfungsi Intuisinya
Insan Kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.
3.Mampu Menciptakan Budaya
Sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berpikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berpikirnya itu, ma¬nusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.
Tetapi dalam kaca mata Ibn Khaldun kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut dewasa ini dikenal dengan evolusi.
4.Menghiasi Diri dengan Sifat-sifat Ketuhanan
Pada uraian tentang arti insan tersebut di atas telah disebutkan bahwa manusia termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). la cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia sebagai khalifah yang demikian itu merupakan gambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar, ka¬rena memiliki daya kehendak yang bebas.
5.Berakhlak Mulia
Sejalan dengan ciri keempat di atas, insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan.
6.Berjiwa Seimbang
Menurut Nashr, sebagai dikutip Komaruddin Hidayat, bahwa manusia modem sekarang ini tidak jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen, immortal yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang teramat panjang. Tetapi disayangkan, kebanyakan dari mereka lupa akan immortalitas dirinya yang hakiki tadi. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketenteraman batin, yang berarti tidak hanya ke¬seimbangan diri, terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, maka keseimbangan akan semakin rusak.
2.5  Kriteria dan Cara Pencapai menjadi Insan Kamil
Ciri – ciri atau kriteria Insan Kamil pada diri Rasullullah SAW
Adapun beberapa ciri – ciri atau kriteria Insan Kamil yang dapat kita lihat pada diri Rasulullah SAW yakni 4 sifat yakni :
1.      Sifat amanah (dapat dipercaya)
Amanah / dapat dipercaya maksudnya ialah dapat memegang apa yang dipercayakan seseorang kepadanya walaupun hanya sesuatu yang kita anggap kurang berharga. Di zaman seperti sekarang ini sangat sulit menemukan sifat manusia yang seperti itu, sebab bila kita lihat sekarang ini hidup di dunia sangat sulit maka untuk bisa memenuhi hasrat dan kebutuhannya manusia pun menghalalkan segala cara. Walaupun ada, sifat amanah ini dimiliki hanya orang – orang yang mengerti tentang kehidupan di masa sekarang dan di masa yang akan datang, maksudnya ia telah menyadari bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan kehidupan yang kekal dan abadi hanya di alam akhirat dengan dasar itulah orang – orang yang memiliki sifat amanah dapat menerapkannya di kehidupannya sehari – hari.
2.       Sifat fathanah (cerdas)
Seseorang yang memiliki kepintaran di dalam bidang fomal atau di sekolah belum tentu dia dapat cerdas dalam menjalani kehidupannya, sebab bila kita lihat kenyataan di masyarakat bahwa banyak sarjana yang telah menyelesaikan studinya hanya menjadi pengangguran yang tak dapat mengembangkan semua pengetahuan yang didapatnya itu menunjukkan bahwa ia bukanlah seseorang yang cerdas. Cerdas ialah sifat yang dapat membawa seseorang dalam bergaul, bermasyarakat dan dalam menjalani kehidupannya untuk menuju yang lebih, tapi sifat cerdas ini tidaklah dimiliki setiap orang. Walaupun ada hanya sedikit orang yang memiliki kecerdasan, biasanya orang memiliki kecerdasan ini adalah orang telah mengalami banyak pengalaman hidup yang dapat berguna di dalam menjalani kehidupan.
3.       Sifat siddiq (jujur)
Jujur adalah sebuah kata yang sangat sederhana sekali dan sering kita jumpai, tapi sayangnya penerapannya sangat sulit sekali di dalam bermasyarakat. Entah dikarenakan apa dan kenapa kita sebagai manusia sangat sulit sekali untuk berlaku jujur baik jujur dalam perkataan dan perbuatan. Sifat jujur sering sekali kita temui di dalam kehidupan sehari – hari tapi tidak ada sifat jujur yang murni maksudnya ialah, sifat jujur tersebut mempunyai tujuan lain seperti mangharapkan sesuatu dari seseorang barulah kita bisa bersikap jujur.
4.      Sifat Tabligh (menyampaikan)
Maksudnya tabligh disini ialah menyampaikan apa yang seharusnya di dengar oleh orang lain dan berguna baginya. Tentunnya sesuatu yang akan disampaikan itu pun haruslah sesuatu yang benar dan sesuai dengan kenyataan.
Sifat – sifat manusia sempurna, Sifat – sifatnya terdiri dari :
Ø  Keimanan
Ø  Ketaqwaan
Ø  Keadaban
Ø  Keilmuan
Ø  Kemahiran
Ø  Ketertiban
Ø  Kegigihan dalam kebaikan dan kebenaran
Ø  Persaudaraan
Ø  Persepakatan dalam hidup
Ø  Perpaduan dalam umah
Sifat – sifat inilah yang menjamin manusia menjadi sempurna dan mencapai hasanah dalam dunia dan hasanah dalam akhirat. Cara-cara mencapainya ialah dengan :
v  Ilmu taubat dengan syarat – syaratnya menghindari dari yang menyebabkan nafsu dengan mengawalnya dengan mendisiplinkan pergaulan dan harta serta mengambilkan yang halal dan membelanjakan dalam perkara halal, kemudian disertai dengan berhemat.
v   Berjaga – jaga supaya amalan tidak binasa oleh niat-niat yang merobohkannya seperti ria digantikan dengan ikhlas.
v   Keadaan tergesa-gesa digantikan dengan sabar.
v  Tidak cermat digantikan dengan sifat cermat menyelamatkan diri daripada kelesuan.
v  Dengan mengamalkan sifat harap dan takut, maksudnya harap bahwa Allah akan menerima amalan dan menyelamatkan kita, takut kalau-kalau Allah tidak mengampuni kita dan menerima amalan kita.
v   Mengamalkan sifat puji dan syukur dalam hidup terhadap Allah juga terhadap makhluk yang menjadi wasilah atau perantara sampainya nikmat Allah kepada kita. Puji dan syukur itu dapat berupa rasa gembira dan syukur terhadap nikmat Allah dan lidah mengucapkan kesyukuran, al-hamdulillah, serta dengan melakukan perbuatan – perbuatan yang dirhidoi Allah SWT.


2.6  Pendapat Para Ulama Mengenai Insan Kamil
Insan kamil adalah konsep manusia paripurna. Manusia yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi dilihat dari beberapa dimensi. Berikut ini pendapat para ulama mengenai Insan Kamil:
v Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365 – 1428) Insan kamil Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
v Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
v Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian.
a.    Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
b.   Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau insan kamil. Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (nur Muhammad).
v  Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori para sufi seperti pemikiran al-Jili ini. Menurut dia, hal ini membunuh individualitas dan melemahkan jiwa. Iqbal memang memandang dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai insan kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik.
Insan kamil versi Iqbal tidak lain adalah sang mukmin, yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar dalam akhlak Nabi SAW. Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang merupakan makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi. Untuk menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati akhlak Ilahi.
Sang mukmin menjadi tuan terhadap nasibnya sendiri dan secara tahap demi tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal melihat, insan kamil dicapai melalui beberapa proses. Pertama, ketaatan pada hukum; kedua penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi; dan ketiga kekhalifahan Ilahi. dan dari ensklopedi Islam terbitan ikhtiar baru van hoeve

2.7 Penerapan Insan Kamil dalam kehidupan sehari-hari
Kamus Dewan edisi ketiga mentafsirkan istilah ‘kamil’ sebagai ‘sempurna dan lengkap’. Istilah yang dipinjam daripada bahasa Arab ini sebenarnya merangkumi segala aspek dan sifat-sifat baik yang perlu ada pada diri setiap manusia. Nilai-nilai baik ini merangkumi akhlak dan akidah yang berteraskan al-Quran dan sunnah. Akidah yang benar dan gambaran tentang kehidupan yang tepat dan tidak dipengaruhi oleh kepalsuan, khurafat, dan falsafah-falsafah serta ajaran yang palsu, akan memancarkan nilai-nilai benar yang murni di dalam hati. Insan kamil dapat diterapkan di dalam kehidupan sehari – hari, namun tentunya kita lihat ciri – ciri dan cara – cara mencapainya. Maka banyak orang – orang terpilihlah yang mungkin mampu memiliki sifat – sifat seperti yang tersebut di atas. Yaitu orang – orang dengan kualitas keimanan dan ketakwaan yang tidak sekedar biasa, orang – orang yang dapat bertahan di dalam kesucian hati, pikiran dan perbuatan di tengah besarnya godaan syaitan pada zaman sekarang ini.
Penerapan insan kamil dalam kehidupan sehari – hari bukanlah perkara mudah, karena dari segi arti saja insan kamil yaitu manusia yang sempurna. Sedangkan manusia sendiri, seperti yang telah kita ketahui tak ada yang terlahir dengan sempurna. Manusia adalah tempat segala kesalahan dan kekhilafan berasal.Namun kesempurnaan yang dimaksudkan di sini bukanlah kesempurnaan dalam arti tak pernah melakukan kesalahan sama sekali. Tak ada manusia yang tak pernah melakukan kesalahan, itu kodrat. Karena itulah telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu cara untuk mencapai insan kamil adalah dengan bertaubat dengan syarat – syaratnya dan bertaubat hanya dilakukan oleh orang yang merasa melakukan kesalahan.
Meskipun begitu, seseorang yang ingin mencapai tingkatan insan kamil harus tetap menjaga segala tingkah lakunya, agar jangan sampai keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya. Disamping itu, seorang insan kamil juga harus menjaga diri dari kesalahan – kesalahan yang mungkin dianggap kecil dalam kehidupan sehari – hari, seperti tergesa – gesa dan tidak cermat. Hal seperti ini mungkin Sudah menjadi bagian hidup kita sebagai manusia biasa, namun sebagai insan kamil sekecil apapun itu tetaplah harus dihindarkan agar tercapai kesempurnaan yang diharapkan Melahirkan insan yang kamil bukanlah semudah memberi pendidikan secara formal dari kecil sehingga dewasa. Tanggung jawab dari dalam diri insan itu sendiri. Kesadaran ini bukan saja merangkumi aspek kecintaan terhadap negara, bangsa dan agama malah menyeluruh meliputi keinsafan dan kesedaran tentang tanggungjawab setiap manusia sesama manusia dan kepada Penciptanya. Oleh hal yang demikian itu, pembelajaran dan pendidikan sepanjang hayat harus terwujud dalam setiap diri manusia. Di zaman sekarang ini sangat sulit bagi kita untuk dapat meihat atau menemukan seseorang yang menerapkan insan kamil di dalam kehidupannya, seperti yang kita tahu insan kamil merupakan perwujudan dari sifat – sifat dan perbuatan nabi Muhammad SAW yang sangat sempurna yang tidak semua orang dapat melakukannya.
Setelah kita melihat bagaimana tinggi dan agungnya pribadi Rasulullah Saw dari sisi rohaninya, lantas apakah hati kita tidak tergerak untuk menyatakan kekaguman dan keterpesonaan terhadap beliau, dengan memuji dan menyanjungnya?, Sungguh telah banyak orang yang terpesona dengan keindahan akhlak beliau dan berdecak kagum dengan kepribadian beliau sepanjang sejarah umat manusia. Kekaguman itu mereka ungkapkan ke dalam puisi-puisi, pembacaan-pembacaan maulud dan manaqib Rasulullah Saw.
Merekalah yang benar-benar memahami arti sebuah kebesaran dan keindahan. Entahlah kita, apakah termasuk dari orang yang enggan karena malu, atau karena hati yang keras, sehingga tidak mengenal arti keindahan dan kebesaran pribadi beliau, serta menganggap bahwa memuji dan menyanjung beliau sebagai pengkultusan individu.








BAB 3
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
       Insan Kamil artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna.
      Pada dasarnya semua manusia di dunia ini menghendaki dirinya menjadi insan kamil (manusia sempurna) sebagaimana dicerminkan setiap Nabi/Rasul yang berperan sebagai pembawa risalah sekaligus figur atau uswatun hasanah yang mencerminkan salah satu sikap insan kamil. Islam dengan rasulnya sebagai teladan dalam pembentukan akhlak yang mulia telah memberikan konsep yang jelas tentang insan kamil (manusia sempurna) dalam tolak ukur kesempurnaan makhluk.
      Secara garis besar ciri-ciri Insan Kamil dapat dikatagorikan menjadi tiga bagian yaitu: Mampu berkomunikasi dengan Tuhan; Mampu berkomunikasi dengan sesama makhluk; Mampu berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
3.2  Saran
      Dengan dibuatnya makalah ini, kami memberikan saran kepada seluruh rekan – rekan semuanya, agar mencoba untuk menjadi seorang yang insan kamil artinya manusia yang sempurna dipandangan makhluknya.






DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abudin. 2002. Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
___. 2011. Konsep Insan Kamil. [online]. Tersedia : http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2115514-konsep-insan-kamil/-diakses-25-04-11
__. 2011. Insan Kamil. [online]. Tersedia : http://www.republika.co.id:8080/berita/8318/Insan_Kamil-diakses-25-04-11
___. 2011. Insan Kamil. [online]. Tersedia : http://fixguy.wordpress.com/insan-kamil/-diakses-25-04-11
Sandi, Ari. 2011. [online]. Tersedia : http://arisandi.com/?p=143-diakses-25-04-11
___. 2011. Insan Kamil. [online]. Tersedia : http://aljawad.tripod.com/arsipbuletin/insan_kamil.htm-diakses-25-04-11
___. 2011. Insan Kamil. [online]. Tersedia : http://moeds2000.blog.com/2011/01/19/insan-kamil/-diakses-25-04-11
___. 2011. Insan Kamil. [online]. Tersedia : http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080107175300AAmUsaA-diakses-25-04-11
___. 2011. Insan Kamil Bagian 1. [online]. Tersedia : http://kalamunida.blogdetik.com/2011/03/17/insan-kamil-bagian-1/-diakses-25-04-11
___. 2011. Ciri – ciri Insan Kamil. [online]. Tersedia : http://blog.re.or.id/search/ciri+ciri+insan+kamil+dalam+tasawuf/-diakses-25-04-11


[1] Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawir
[2] Harun Nasution, “Enseklopedi Islam”
[3] Sirajuddin Abbas, ” 40 Masalah Agama Jilid I.
[4] Prof. Rivai Siregar “Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme” hal. 211
[5] Lihat Futuhatil Makiyah Vol. IV : 13
[6] Al-Jilli, “Insan Kamil” Alih Bahasa Misbah Al-Majid, Jakarta, PMP, 2005
[7] Prof. Saiq Aqil Siraj “Manusia Sempurna dalam Pandangan Sufiunisme, 2000, Makalah
[8] Ibid, hal. 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar